Petualangan di Alahan Panjang

............................................................

Hijau itu Asri

Potret sebuah kehijauan saat dalam perjalanan di kampung halaman.

Kawah Gunung Sitinjau

Disini terdapat sebuah legenda, Legenda tentang Bujang Sambilan

Sungai Janiah dari Bukik Tanjua

Hamparan sebuah Keindahan Kampung Halaman

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Selasa, 05 April 2016

Perceraian Antara Sains dan Filsafat, dan Tragedi Islam Liberal

assalaamu’alaikum wr. wb.
Sebagai pelajar dan mahasiswa S1 dahulu, saya selalu punya pandangan negatif terhadap filsafat. Dalam pandangan saya, para filsuf adalah orang yang suka berasyik-masyuk dengan pikirannya sendiri, cuma duduk dan berpikir, kadang berdiskusi, tapi hasilnya tidak jelas. Mereka tidak membuat terobosan baru, bahkan banyak orang belajar filsafat akhirnya bertindak seperti orang bodoh.
Sekarang, pandangan saya berubah. Tapi memang ada orang-orang yang membodohi diri sendiri dengan apa yang disebutnya sebagai ‘filsafat’, dan amat disayangkan populasinya di negeri kita ini terlalu banyak.

Tahun 2004, mahasiswa jurusan Akidah Filsafat dari UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, dengan lantangnya berteriak “Anjinghu akbaar!”. Sepuluh tahun kemudian, para mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, Surabaya, menggelar kegiatan orientasi penyambutan mahasiswa baru dengan tajuk “Tuhan Membusuk”. Padahal, filsafat terambil dari kata “philo” dan “sophia” dari bahasa Yunani yang secara berurutan bermakna “cinta” dan “kebijaksanaan”. Filsuf itu cinta kebijaksanaan. Lalu, di mana kebijaksanaan dari kata-kata “Anjinghu akbaar” dan “Tuhan membusuk”? Apakah frase-frase semacam itu membawa perubahan pada kebaikan bagi pengucap dan pendengarnya? Adakah masalah yang bisa diselesaikan dengannya?

Adalah dosen filsafat pula yang belum lama ini menggemparkan Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), Padang, dengan aksinya menginjak Al-Qur’an di depan kelas. Di mana nilai kebijaksanaan dari tindakan semacam itu? Bijaksanakah seorang Muslim yang menginjak Al-Qur’an? Tanpa Al-Qur’an, bisakah ia memahami Islam? Seribu pertanyaan lainnya bisa kita ajukan. Yang jelas, UMSB telah bertindak cukup bijaksana dengan memberhentikan sang dosen. Kebijaksanaan UMSB akan menjadi lebih sempurna lagi jika ke depannya bisa memperketat seleksi dosen, terutama untuk bidang filsafat.

Tanpa perlu menyelami teori filsafat yang rumit-rumit, melainkan dengan logika dasar saja, kita akan memahami betapa banyak kontradiksi dari tindakan para ‘filsuf’ semacam ini. Buat apa ber-dzikir dengan ‘Anjinghu akbar’? Bukankah Yang Maha Besar itu Allah? Buat apa menyebut Tuhan telah membusuk? Buat apa mengaku Muslim yang cinta Allah namun menginjak Al-Qur’an? Bukankah ada nama Allah di setiap lembar Al-Qur’an tersebut? Semua akan terjawab dengan sempurna jika para pelakunya bukan seorang Muslim. Sayangnya, justru di situlah letak kontradiksinya!

Di mana sumber permasalahannya? Mengapa banyak orang (tentu tidak semua) yang belajar filsafat malah makin jauh dari kebijaksanaan?
Ketika saya mempelajari sejarah Socrates – seorang filsuf Yunani yang sangat ternama – kesan yang saya dapati sangat berbeda, bahkan seratus delapan puluh derajat. Meski tidak semua pemikiran Socrates bisa kita terima, namun kita akan terdorong untuk menghargai kerja keras dan ketulusannya dalam mengejar kebijaksanaan hidup. 

Dalam salah satu dialog Socrates (Socratic dialogue) yang ditulis oleh Plato, ada kisah tentang Socrates yang mengajari salah seorang budak milik Meno – rekan diskusinya saat itu – untuk menggunakan ilmu geometri. Socrates bukan orang yang bicaranya sembarangan, suka dengan kata-kata kasar, suka mengolok-olok manusia (apalagi Tuhan), juga tidak suka menginjak-injak buku. Sebaliknya, ia adalah figur yang sangat runut dalam berpikir, lancar berbahasa, dan – sebagaimana dibuktikan dalam kisah ini – juga mengerti sains!
Satu dekade yang lalu, saya takkan percaya kalau filsafat dan sains pernah rukun. Tapi kenyataannya demikian. Bukan hanya keduanya hidup dengan damai di dalam kepala para cendekiawan (yang menjadikan mereka filsuf dan saintis sekaligus), tapi juga dahulunya filsafat itu adalah sains, dan sains adalah filsafat. Di jamannya, Sir Isaac Newton tidak menyebut dirinya seorang fisikawan, melainkan sebagai ‘filsuf alam’ (natural philosopher). Bukunya yang mengguncangkan dunia fisika pun diberinya judul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (“Mathematical Principles of Natural Philosophy”).

Sebagian orang mendefinisikan filsafat secara sederhana sebagai ilmu yang menggali cara terbaik untuk mengerjakan/memikirkan sesuatu. Dengan penjabaran seperti ini, tidaklah mengherankan kiranya jika apa yang kini kita kenal sebagai sains itu pun merupakan bagian dari filsafat.
Hemat saya, kekacauan terjadi justru karena perceraian ‘paksa’ yang mengakibatkan terpisahnya filsafat dan sains. Filsafat (atau lebih tepatnya: apa yang kini kita sebut sebagai filsafat) memang banyak berkutat dengan pikiran, sedangkan pikiran itu bisa melanglang buana tanpa batas, melampaui keterbatasan tubuh. Adapun sains, ia berkutat dengan segala sesuatu yang serba terbatas, nyata dan jelas wujudnya. Jika filsafat begitu ‘melangit’, maka sains sangatlah ‘membumi’.

Mereka yang belajar sains pastilah memahami keterbatasannya. Sains itu sendiri – kata teman saya yang lulusan Teknik Fisika ITB – dibangun atas model-model yang merupakan penyederhanaan dari alam. Alam itu sendiri terlalu kompleks untuk dipelajari, sehingga mesti disederhanakan. Gunung atau jalan yang menurun dan menanjak dimodelkan dengan bidang miring, meskipun wujud nyatanya tidak berupa garis lurus seperti modelnya. Banyak rumus dalam sains yang harus diberi catatan, misalnya rumus-rumus Kimia tertentu yang hanya berlaku pada suhu ruangan. Di luar suhu ruangan, kondisinya bisa lebih kompleks lagi. Ada pula masalah tingkat ketelitian, yang bisa terjadi karena ketidaktelitian pengamatan, ada faktor luar yang tidak diperhitungkan sebelumnya, atau juga kerusakan alat ukur. Lahir pula ilmu probabilitas dan statistika yang mengimplikasikan ketidakmampuan manusia untuk memastikan prediksinya sendiri. Ya, namanya juga prediksi! Poin pentingnya: jika Anda mendalami sains, pastilah Anda akan memahami betapa banyaknya ketidakpastian di alam semesta ini, dan betapa minimnya kemampuan manusia dalam memahami alam ciptaan Tuhan ini.
Lho, kok orang sains bicara Tuhan? Ya, bagaimana lagi menjelaskan kompleksitas di alam? Jangan buru-buru bilang Tuhan tidak ada karena belum pernah melihat-Nya, sebab di alam semesta ini ada banyak sekali galaksi, dan manusia belum pernah menjelajah sampai ke ujung tata surya, boro-boro ujung galaksi, apalagi ujung alam semesta. Seperti kata Buya Hamka, meyakini keberadaan Tuhan itu lebih mudah daripada mengingkarinya.

Orang yang belajar sains – semestinya – lebih membumi, lebih memahami keterbatasannya, atau singkatnya lebih beradab. Sebaliknya, mereka yang tidak meneliti alam semesta dan sibuk dengan alam pikirannya sendiri sangat mungkin terjebak dalam kesombongan. Mereka pikir mereka hebat, padahal di luar sana begitu banyak yang lebih hebat. Alam memang guru terbaik, karena ia bisa mengajarkan adab dan ilmu sekaligus.

Perceraian antara filsafat dan sains menjadikan banyak di antara mereka (sekali lagi: tidak semua!) yang belajar filsafat tergelincir dalam kesombongan. Mereka sangat bersemangat memaksimalkan akalnya – dan itu bagus, bahkan harus – namun lupa untuk bercermin dan melihat besarnya kuasa Allah SWT. Itulah sebabnya dalam ayat ke-191 di Surah Ali ‘Imran, Allah SWT menjelaskan ciri-ciri ulil albaab, yaitu: (1) senantiasa mengingat Allah, (2) memikirkan penciptaan langit dan bumi, (3) menyadari bahwa tiada ciptaan Allah yang bathil, (4) menyucikan nama Allah, dan (5) takut akan api neraka. Poin ke-2 secara khusus sangat berkaitan dengan sains, sedangkan secara keseluruhan kita dapat melihat bahwa ulil albaab ini adalah kelompok manusia yang bukan hanya berilmu, namun juga beradab. Sains memang semestinya membuat manusia menjadi beradab!

Memuja filsafat dan sains, melecehkan agama. Beginikah sikap yang pantas bagi seorang cendekiawan?
Menurut tebakan saya, para ‘filsuf’ yang kehilangan adab kepada Tuhan-nya itu adalah korban dari perceraian antara filsafat dan sains. Hal ini biasa terjadi pada kelompok Islam liberal yang suka mendewa-dewakan sains, padahal mereka sendiri bukan orang sains. Mereka begitu memuja akalnya sendiri dengan mengatasnamakan sains, padahal para penggiat sains nggak gitu-gitu amat. Akhirnya, mereka hanya membohongi diri sendiri. Mengira diri pantas mempertanyakan Allah, padahal ciptaan Allah pun tak tuntas dikaji. 

Filsafat tanpa sains bagaikan pohon yang menjulang ke angkasa namun akarnya tidak kokoh menancap di tanah. Asyik membahas pemikiran, namun abai dengan realita. Padahal, realita itulah yang seharusnya menjadi obyek pemikiran manusia. Di dunia ini memang sudah lazim kita jumpai orang-orang pintar yang merasa bodoh dan orang-orang bodoh yang merasa pintar. Tidak ada yang benar-benar baru di kolong langit.
wassalaamu’alaikum wr. wb.

repost dari https://www.facebook.com/notes/akmal-sjafril/perceraian-antara-sains-dan-filsafat-dan-tragedi-islam-liberal/857143474395411 by malakmalakmal