Minggu, 19 Mei 2013

Sekilas Pendidikan di Finlandia













Di Finlandia, anggaran pendidikan mendapatkan prioritas utama, meskipun bukan yang tertinggi diantara Negara Eropa lainnya. Pada tahun 2003, anggaran pendidikan mencapai €5,9 Milyar (€1.100 per kapita). Leo Pahkin, Konselor Pendidikan dari Badan Pendidikan Nasional Finlandia, terus memacu mutu pendidikan di Finlandia yang dia pandang sebagai aset kemajuan bangsa. “Kami menanam investasi yang sangat besar dibidang pendidikan dan pelatihan agar bisa mencetak tenaga ahli dan terampil yang kelak menghasilkan inovasi, “ ujarnya.


Kegiatan sekolah di Finlandia rata-rata hanya 30 jam per minggu, berarti hanya 6 jam per hari. Pelajar akan masuk sekolah pukul 08.00 dan pulang pukul 13.00. Artinya, disana berlaku sekolah non-asrama, bukanlah full-day school. Ternyata, jumlah waktu untuk bertemu keluarga dirumah menjadi prioritas yang paling penting. Di Finlandia, interaksi keluarga dianggap sebagai proses belajar penting dan tidak akan dijumpai disekolah. Bayangkan!.


Tidaklah mudah menjadi guru di Finlandia. Untuk dapat kuliah di jurusan pendidikan saja, seseorang harus bersaing ketat. Fakultas Pendidikan dikatakan sebagai fakultas paling bergengsi dibandingkan dengan fakultas lainnya. Rata-rata dari 7 orang peminat, hanya 1 orang yang akan diterima di Fakultas Pendidikan. Tak heran, Fakultas tersebut begitu diminati karena gaji guru di Finlandia rata-rata mencapai €2.311 per bulan. Negara dan rajyat Finlandia menempatkan guru sebagai profesi terhormat dan mereka yang menyandang profesi itu pun merasa mendapatkan sebuah prestise dan kebanggaan tersendiri. (Sampai di sini, saya ingat sebuah guyonan klasik di Negara kita, “Jangan cari menantu seorang guru untuk anak perempuan kita, biasanya hidupnya kan susah! Gajinya kecil dan perlu waktu sangat lama untuk sukses, bahkan profesi guru itu dianggap tidak punya jenjang karier. Kasihan nanti anak perempuan kita.” Pasti guyonan seperti ini tidak berlaku di Finlandia.)


Guru-guru di Finlandia dibebaskan menyusun kurikulum dan silabus sesuai visi dan misi sekolah. Dengan kreatif, mereka merancang buku teks yang aplikatif. Hampir semua guru menjadi penulis, menimal penulis buku pelajaran yang mereka gunakan di kelas. Mereka juga menggunakan strategi mengajar yang beragam dengan memperhatikan multiple intelligences semua siswa. Guru juga menentukan model evaluasi dan penilaian setiap aktivitas belajar-mengajar. Dan akhirnya, gurulah yang menjadi penilai terbaik para siswanya. Dampak dari otonomi guru menjadikan guru-guru di Finlandia sangat bertanggung jawab terhadap keberhasilan para siswanya. Bahkan, ada moto guru Finlandia, “kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”


Kewibawaan guru demikian tinggi di mata para siswanya. Meraka sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa, tetapi mereka mengajak para siswa untuk membandingkan nilai sebelumnya yang pernah diraih (konsep ipsative). Para guru menghindari memvonis siswa dengan mengatakan “Kamu salah!” karena mereka menganggap sebagai hal biasa jika siswa melakukan kesalahan, termasuk dalam mengerjakan soal-soal.


Proses belajar mengajar berjalan dua arah. Suasana sekolah boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel menyenangkan dan, efektif. Siswa di Finlandia juga diarahkan mampu mengevaluasi secara mandiri hasil belajar masing-masing. Hal itu diterapkan sejak dini/pra-TK. Mereka didorong bekerja secara individu, tak peduli apapun hasilnya. “ini akan membantu siswa untuk belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri,” kata Sundstrom, seorang kepala sekolah dasar Poikkilaakso, Finlandia.


Sampai Vourio, sorang guru di Torpparinmaki Comprehennsive School, Finlandia, menjelaskan bahwa sistem pendidikan di negaranya dijalankan sangat demokratis. Penekanan belajar fokus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah (PR) dan ujian tak harus dikerjakan dengan sempurna, yang penting murid menunjukan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Tidak ada system peringkat (ranking) sehingga siswa merasa percaya diri dan nyaman terhadap dirinya. System peringkat dipandang hanya membuat guru terfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan kepada seluruh murid.


Kesimpulannya, Finlandia telah sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen dengan keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi.



Dikutip dari buku Gurunya Manusia


0 comments:

Posting Komentar