Untuk memberi jawaban kepada seseorang tentang tujuan hidup tidaklah mudah, ia juga tidak dapat diberikan dalam beberapa kata atau kalimat saja, karena kalaulah hal itu dilakukan, maka yang kebanyakan terjadi justru ketidakpahaman atau ketidakjelasan makna karena tidak ada suatu penjelasan yang melatari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pertanyaan tentang tujuan hidup pun tidak bisa dijawab dan dijelaskan secara parsial, tetapi harus dengan komprehensif/integral, agar tujuan dari jawaban itu sendiri, yaitu kepuasan, bisa didapatkan oleh si penanya.
Sebenarnya, tujuan hidup itu sendiri adalah suatu bagian dari simpul utama pertanyaan semua manusia, dimana jika simpul ini diuraikan maka terurailah semua simpul-simpul cabang (simpul cabang adalah pertanyaan derivatif dari simpul utama tersebut). Simpul utama tersebut sering di-intepretasikan dengan pertanyaan sebagai berikut: darimana hidup ini berasal?, apa tujuan kita hidup?, lalu akan kemana setelah hidup? dan seperti yang telah dijabarkan diatas, bahwa pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara parsial, karena jawaban dari ketiganya barulah memberikan pemahaman yang total (menyeluruh) yang akan melahirkan sebuah pandangan hidup (way of life/ideology) yang nantinya akan digunakan sebagai landasan berfikir dalam memahami suatu realitas di dunia.
darimana hidup ini berasal?
Mau tidak mau, suka tidak suka, setiap manusia yang berakal dan mau menggunakanya pasti akan menanyakan asal dari dirinya (hidupnya) karena, seperti yang kita lihat di dunia ini, bahwa sesuatu pasti ada asalnya (awalnya). Buku dibuat di percetakan, komputer dirakit di pabriknya, ayam dari telur, dst. Yang jelas, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang “langsung ada” atau “terjadi dengan sendirinya”, benda-benda tersebut pasti mempunyai pencipta, termasuk pula kita. Sehingga adanya Sang Pencipta (The Creator) yang menciptakan manusia tidak dapat kita sangkal, atau Sang Pencipta tersebut harus ada (wajib adanya). Bukti lain yang menunjukkan bahwa kita diciptakan (bukan ada dengan sendirinya menurut teori evolusi Darwin) adalah sangat sempurna sekalinya semua hal yang ada pada manusia, contoh paling gampang adalah sampai detik ini pun para ilmuwan tidak dapat mnjelaskan bagaimana sel-sel pembuluh darah yang terpecah-pecah dapat membentuk pembuluh darah dengan rapinya. Contoh lain adalah, sampai sekarang pun para evolusionis belum bisa menjelaskan hipotesis “generatio spontanea” mereka secara ilmiah.
Sehingga kesimpulanya adalah kita (manusia) adalah makhluk (creatures) yang tentunya membutuhkan Sang Pencipta (The Creator) untuk menciptakan kita.
apa tujuan kita hidup?
Pertanyaan lanjutan dari hal diatas adalah untuk apa sang pencipta menciptakan kita? apakah hanya untuk iseng? untuk bermain-main? supaya ramai? atau untuk apa? tentunya sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan akal kita yang terbatas. Tetapi suatu hal yang dapat kita ketahui secara pasti adalah: Sang Pencipta yang menciptakan kitalah yang tahu secara pasti apa tujuan kita diciptakan/tujuan hidup kita!
Seperti yang kita ketahui, dalam melakukan segala sesuatu kita butuh standar (tolak ukur). Analoginya, suatu pabrik motor dalam menjual motor pasti menyediakan suatu manual instructions bagi penggunanya, pun begitu halnya bila kita membeli sebuah kalkulator, kita pasti diberikan buku petunjuk penggunaan, bagaimana cara menggunakan, merawat, memperbaiki barang yang kita beli tersebut. Begitu pula manusia, Sang Pencipta selalu menyediakan suatu standar bagi manusia, dimana standar inilah yang harus diterapkan jika ia ingin mendapatkan suatu kebaikan, dan standar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya itu juga akan berisi dan menjelaskan tentang tujuan hidup apa yang paling tepat untuk ciptaan-Nya, karena yang paling tahu tentang manusia tidak lain dan tidak bukan adalah Penciptanya.
Masalahnya sekarang, standar manakah yang harus dipilih? banyak pemikir/filsuf yang menawarkan standar hidup, ada banyak pula agama yang masing-masing mengklaim bahwa merekalah yang memiliki standar (aturan) yang diturunkan dari Sang Pencipta. Di satu sisi, mereka (agama-agama) sama-sama mengklaim mendapatkan standar dari Sang Pencipta, di sisi lain ajaran-ajaran mereka banyak yang bertentangan, lantas bagaimana?
Bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan maka ada 2 kemungkinan diantara pilihan-pilihan tersebut, yaitu:
1. Salah satu diantara pilihan-pilihan itu ada yang benar
2. Semuanya salah
Yang pasti, tidak mungkin ada kemungkinan bahwa semua pilihan adalah benar, karena kebenaran hanya ada satu, bila yang satu benar, yang lain pasti salah. Yang jelas, satu kebenaran dari banyaknya pilihan bukanlah alasan bagi seseorang untuk bersikap pesimis mengambil langkah aman (safe step) (ex: daripada dapat pilihan yang salah, lebih baik netral saja)
Karena itu pilihan kita haruslah pada standar yang tepat, apa ciri-ciri standar yang tepat? Untuk menentukan ciri standar yang tepat, lebih baik kita ber-analogi lagi. Mengapa cm (centimeter) dipakai sebagai standar dunia? jawabnya adalah karena:
1. dipakai secara universal/disetujui sebagai unit pengukuran
2. cocok untuk mengukur benda-benda yang ada disekeliling manusia
3. tetap dan tidak berubah-ubah
4. lebih teliti daripada pengukur sainganya (misal inchi)
Jika kita ingin memilih suatu standar untuk mengatur manusia, bertolak dari analogi tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa standar untuk manusia haruslah:
1. dapat diterima oleh sebagian besar manusia yang ‘normal’
2. mempunyai solusi penyelesaian masalah kehidupan manusia (problem solving)
3. tetap dan tidak berubah-ubah
4. mempunyai solusi yang lengkap
Itulah ciri-ciri standar yang tepat yang nantinya akan dipakai sebagai sebuah aturan hidup, tolak ukur perbuatan dan tentunya disitulah terdapat jawaban dari tujuan hidup. Dimana jika standar itu diterapkan akan memberikan hasil (output) yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan hati.
akan kemana setelah hidup?
Jawaban dari pertanyan ini tentunya terkait dengan jawaban kedua pertanyaan diatas, yang tentunya jawabanya pun akan didapat pada standar yang didapat tadi. pada agama apapun, yang menjadi acuan dari penilaian bukanlah orang-orangnya (penganutnya) tetapi dari ajaranya yang tentunya termuat dalam kitabnya, nah sebagai petunjuk untuk mencari standar itu, mulailah dengan kitabnya!.
*tulisan ini dipersembahkan untuk orang-orang yang rindu akan kebenaran
by : Muhammad Al-Fatih
0 comments:
Posting Komentar